Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Desember, 2008

“I live between the fire and the plague

with my language—with this mute universe”

The Fall (Adonis)

“Aku hidup di antara api dan epidemi

bersama gelisah bunyi—di dalam dunia sunyi”

Takluk (Adonis)

ADONIS adalah Ali Ahmad Said. Lahir pada 1930 di Qassabin, Siria. Bila ditilik dari sudut etimologi, Adon berasal dari bahasa Semit, adon, yang bermakna “Raja”. Sebelum memulai kuliah umum di ruang blackbox theatre Salihara pada 3 November 2008, ada narasi yang bercerita tentang musabab sempat mengungkapkan bahwa alasan Ali Ahmad Said menggunakan nama pena: Adonis. Diceritakan bahwa penggunaan nama tersebut dikarenakan Ali Ahmad Said merasa bahwa ‘kegagalan’ puisinya lolos seleksi bersumber pada namanya; itulah yang menyebabkan ia menggunakan nama pena: Adonis. Ternyata, strateginya berhasil. Bentala internasional mengenal Ali Ahmad Said sebagai Adonis, Adonis of Syria, Raja dari Siria.

Pada kuliah umum di blackbox theatre Salihara, peraih gelar Philosophical Doctor dari St. Joseph University, Beirut, Lebanon, pada 1973 ini memaparkan makalah bertajuk “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama”. Di dalam makalahnya, Adonis mengajukan tesis: “Puisi dan kebenaran puisi sepenuhnya berlawanan/bertolak belakang dengan agama dan kebenaran agama.” Bila tesis tersebut dikembalikan kepada judul makalah, hasilnya: kontradiksi. Bagaimana mungkin ‘yang bertolak belakang’ (pada tesis) bersanding dengan ‘dan’ (pada judul)?

Lepas dari kontradiksi antara judul dengan tesis, artikel ini saja tujukan untuk membahas (1) dimensi logika dari judul makalah, dan (2) dimensi kronologis penempatan frase. Penjernihan atas kontradiksi antara tesis dengan judul akan saya bahas pada bagian yang terpisah dari tulisan ini, disebabkan penjelasan terkait kontradiksi tersebut mengacu pada pola pikir dialektis yang dimajukan Adonis sebagai kerangka utama penyusunan makalah tersebut.

*

(lebih…)

Read Full Post »

Pengantar

Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.

Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam.

Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.

Pada mulanya hermeneutika adalah penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Namun, dalam kurun berikutnya, lingkupnya berkembang dan mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh (Eagleton, 1983: 66). Dalam perkembangan hermeneutika, berbagai pandangan terutama datang dari para filsuf yang menaruh perhatian pada soal hermeneutika. Ada beberapa tokoh yang dapat disebutkan di sini, di antaranya: F.D.E. Schleirmacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Husserl, Emilio Betti, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida. Pada prinsipnya, di antara mereka ada beberapa kesamaan pemikiran yang dimiliki, terutama dalam hal bagimana hermeneutika jika dikaitkan dengan studi sastra khususnya dan ilmu-ilmu humaniora dan sosial pada umumnya. Di samping itu, terdapat pula perbedaan dalam cara pandang dan aplikasinya. Terjadinya perbedaan tersebut pada dasarnya karena mereka menitik-beratkan pada hal yang berbeda atau beranjak dari titik tolak yang berbeda.

Dalam konteks itulah berbagai pemikiran dan cara aplikasi hermeneutika tersebut perlu dibahas secara khusus. Dalam hal ini ada berbagai pemikiran dari empat pemikir yang akan digunakan untuk mengkajinya. Beberapa pemikir termaksud adalah Andre Lefevere (1977), Terry Eagleton (1983), M.J. Valdes (1987), dan G.B. Madison (1988).

Bertolak dari empat pemikir itulah pembahasan ini akan berupaya mengetengahkan kembali hasil pemahaman secara komprehensif tentang hermeneutika. Di samping itu, juga diupayakan menjelaskan pembahasan apakah hermeneutika dalam interpretasi sastra sebagai konsep metodologis atau ontologis. (lebih…)

Read Full Post »

A. IFTITAH

Nasr Hamid Abu Zayd dan bukunya Naqd al-Khiab al-Diniy sangat menarik untuk dikaji karena ide-idenya yang kontroversia1. lde-idenya yang kontroversial tersebut memaksanya untuk meninggalkan Mesir, yang menurutnya tidak lagi kondusif untuk mengembangkan dan mempertahankan . ide-idenya tersebut. Dia kemudian hijrah ke Netherlands untuk mengabdikan dan mengembangkan ide dan pemikirannya di Universitas Leiden.

Nasr tidak hanya mengajak hijrah dari tempat yang tidak kondusif untuk mengembangkan ide dan pemikirannya, tetapi dia juga mengajak hijrah dari kemapanan pemikiran keagamaan yang membelenggu ide dan pemikirannya, menuju pemikiran keagamaan yang terbuka dan dialogis melalui pembacaan teks keagamaan yang obyektiff-poduktif.

Untuk memahami dengan jelas pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, tulisan ini akan mencoba mengkaji tulisannya yang berjudul Naqd al-Khitab al-Diniy, dalam hal :

1. Bagaimana pepemikiran hermeneutika al-Qur’an yang dilontarkan Nasr Hamid Abu Zayd terbangun?

2. Mengapa Nasr Hamid Abu Zayd menawarkan pemikiran tersebut?

3. Bagaimana prosedur dan proses hermeneutika al-Qur’an yang ditawarkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd.

4. Apa kontribusi Nasr Hamid Abu Zayd terhadap ilmu pengetahuan khususnya wacana keagamaan (lebih…)

Read Full Post »

Pengantar

Menangkap sinyal serta mentransfer aliran kata, huruf dan makna merupakan kebutuhan hidup yang tak terelakkan. Dalam kesehariannya, manusia dituntut untuk berinteraksi secara aktif dengan komunitasnya. Bahasa adalah sarana utama yang menjadi lem perekat komunikasi tersebut. Tanpa bahasa manusia akan terasa “ompong” dalam menyambut hingar-bingar kehidupan.; menganaktirikan bahasa berarti menceraikan diri dari kehidupan.

Tanpa disadari, semenjak kelahirannya “nafas kehidupan” manusia berkait kelindan dengan pengolahan kata, rasa dan makna. Entah dari mana insting kebahasaan tersebut?. Ada yang berujar kelihaian manusia untuk saling bertukar hasrat melalui “dialektika” merupakan ilham dari sang Maha Kuasa. Namun ada pula yang berucap kecakapan tersebut merupakan hasil olah cipta, rasa dan karsa manusia sendiri. Sebab mau tidak mau, manusia diharuskan untuk melegalkan sebuah konsensus bersama, yang berupa standar komunikasi yang dapat menjadi “kaca benggala” bagi kelangsungan hidupnya. Di Sisi lain Bersepakat dalam pembakuan kebahasaan merupakan pola defensif dan ofensif mahluk hidup terhadap sesamanya. Titik tolak tersebut lah yang mungkin memberikan nafas kelangsungan sebuah komunitas. Tanpa kesatuan bahasa dalam sebuah komunitas tertentu; eksistensinya pun akan tercabik-cabik dan tercerai-beraikan oleh seleksi alam. Bolehlah ego dan individualisme mendominasi pribadi seseorang, namun apabila gejolak menyendiri dan menyepi mengkristal menjadi sebuah absolutisme, niscaya ia pun akan lenyap dan musnah dengan sendirinya. Menegasikan komunitas tak ubahnya sebuah tindakan bunuh diri yang berlangsung tanpa kesadaran. Dengan kata lain mengharmonisasikan bahasa dan komunitas merupakan sikap dan tindakan kompetisi manusia dalam menyambung riwayat hidupnya.

Problematika kebahasaan dianulir Abdullah al-Urwie sebagai penyebab keterbelakangan manusia dalam berbudaya dan berperadaban. Bahasa merupakan senjata pamungkas manusia untuk menggapai titik tertinggi kemanusiaan. Apabila bahasa sebuah komunitas mengungkung gerak-gerik manusia bak katak dalam tempurung niscaya ketimpangan kebahasaan tersebut akan menjerumuskannya dalam kekerdilan dan ketidakarifan dalam menyikapi sebuah problematika kehidupan. Sebab keterbatasan sebuah bahasa komunitas tertentu perlu disempurnakan dengan bahasa komunitas lain, walaupun esensi keberagaman makna juga perlu ditelisik dan difahami secara tepat oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi. Kesalahfahaman dalam menangkap esensi ketepatan makna akan berakibat fatal terhadap kelanjutan komunikasi

Sebelum menggali akar dan perkembangan kebahasaan dalam ranah keberagamaan (baca; Islam), perlu dipetakan beberapa terma yang terkadang menyebabkan ambigu dalam memahami sebuah teks keagamaan via nalar arab. Pertama Istilah Lughah dan Lisan yang acapkali diterjemahkan sebagai “bahasa”. Lisan merupakan sebuah pembakuan bahasa yang mandul dan terbatas dalam kotak-kotak fonetik, gramatikal, morfologi maupun definisi kamuistik. Sedangkan Lughah merupakan untaian kata yang terangkai dalam susunan kalimat, tercerabut dari satu akar kata atau hanya merupakan metafora dari pelbagai akar kata. Kedua Kalim yang diartikan sebagai kalimat dan Lahjah yang diartikan sebagai logat. Lahjah merupakan susunan kalimat yang bersumber dari komunitas tertentu yang berbeda dalam pengucapan, arti kata dan strukturnya, sedangkan Kalim dalam berujar dengan lahjah tertentu. Ketiga Ramz yang acapkali diartikan sebagai simbol; yang sangat berkaitan dengan rasa dan rasio.
(lebih…)

Read Full Post »

Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai.
Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
(lebih…)

Read Full Post »

Konstruksi Gender dalam Sastra

Gender berhubungan erat dengan bahasa. Bahasa adalah tanda. Tanda dalam bahasa adalah kombinasi konsep dan gambaran akustis (Saussure, 1988). Sebagai tanda, bahasa berhubungan erat dengan sesuatu yang ditandai. Pengkategorian linguistik berhubungan erat dengan cara untuk menunjukkan yang normal dan yang menyimpang (Goddard dan Patterson, 2000). [1]

Dalam karya sastra, permasalahan mengenai gender merupakan bentukan dari kebudayaan khusus bentukan budaya patriarki yang mendudukkan posisi perempuan sebagai inferior sedangkan laki-laki sebagai superior. Berarti gender itu menggambarkan tentang perbedaan status sosial antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa gender dan jenis kelamin yaitu feminin-maskulin ditentukan secara kultural, sebagai hasil pengaturan kembali infrastruktur material dan superstruktur ideologis. Oleh karena itu, feminitas mengandung pengertian psikologis kultural, seseorang tidak dilahirkan ”sebagai” perempuan, melainkan ”menjadi” perempuan (Ratna, 2004: 184-185).

(lebih…)

Read Full Post »