Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Februari 10th, 2009

Bahasa arab yang digunakan al-Quran mempunyai keindahan tersendiri. Sahabat nabi Umar bin Khattab dikenal menganut Islam, hanya karena struktur bahasa surat Thâha yang dibacakan saudara perempuannya. Sampai al-Quran sendiri menantang orang di sekelilingnya untuk menciptakan karya sejenis, walau satu ayat (QS 17 : 88). Tapi, seiring waktu berjalan, belum ada yang berhasil melahirkan karya sastra yang serupa dengan al-Quran.

Keindahan bahasa inilah yang membidani minat para intelektual muslim kontemporer untuk menggunakan interpretasi susastra atas al-Quran, sebagai cara lain untuk merekonnstuksi pesan Ilahi yang dibawanya. Ia berawal dari keinginan kuat untuk menyingkap sisi keindahan bahasa al-Quran. Dari mulai gaya bertutur yang komunikatif sampai banyaknya simbol yang sarat makna yang sebenarnya bisa mengantar ‘penafsir teks’ pada makna yang terdalam dari teks itu sendiri.

Memang, reposisi al-Quran sebagai kitab susastra dalam kajian islam kontemporer tidak sepi dari problem. Sebut saja, al-Quran sebagai wahyu yang ditropong dengan teori komunikasi; Tuhan sebagai komunikator aktif yang mengirimkan pesan, Muhammad Saw sebagai komunikator pasif, dan bahasa Arab sebagai kode komunikasi. Tidak sedikit peminat studi al-Quran menganggapnya akan menempatkan al-Quran sebagai sebuah teks biasa dan atau teks kemanusiaan seperti halnya teks-teks gubahan manusia pada umumnya.

Namun, dalam batas tertentu mempunyai titik pencerahan. Ia adalah usaha pembaharuan untuk membongkar ketergantungan yang berlebihan atas pakem intelektual yang berurat akar dalam pemikiran Islam. Secara spesifik dialamatkan pada kesan yang berlebihan dalam memuliakan teks, sehingga secara tidak sadar memunculkan skema dikotomis yang mengaburkan antara realitas dan teks. Inronisnya, dalam banyak kondisi telah menjadikan ‘penafsiran teks’ sebagai alat untuk melanggengkan kepentingan ‘penafsir teks’ itu sendiri.

(lebih…)

Read Full Post »